HALUANRAKYAT.com -- Sebuah simbol fiksi menjelma jadi gerakan nyata—menggetarkan ruang publik menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia ke-80. Bendera Jolly Roger dari anime One Piece kitikaris gelombang melalui truk, rumah, hingga mural kota. Tampak seperti iseng? Atau justru rasa frustrasi yang tak bisa dibungkam?
Weekend terakhir bulan Juli 2025, bendera tengkorak dengan topi jerami itu merebak. Mulai dari pengemudi truk ODOL yang merasa dibungkam kebijakan, hingga seniman mural yang menggenggam kuas sebagai senjata protes. Bagi mereka, ini bukan cosplay—melainkan kritik kreatif terhadap sistem yang membisu.
Namun respon resmi kala itu bersuara nyaring: ancaman disampaikan dari balik podium kenegaraan. Ada yang menyebutnya potensi makar, perangkat pengkhianatan, bahkan risiko menodai kesakralan Merah Putih.
Tak sedikit yang mundur:
Komnas HAM menyentil kerakusan respons berlebihan—menegaskan bahwa bendera itu bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
Komisi XIII DPR mengajak pemerintah refleksi: masyarakat mengibarkan karena gelisah—itu tanda bukan serangan.
Presiden Prabowo lewat Mensesneg menegaskan tak masalah selama tak menggantikan atau mendahului Merah Putih. “Saya bilang, bersiap merdeka, tapi jangan sampai ternodai,” ujarnya tegas.
Amnesty International tanpa tedeng aling-aling, mengutuk intimidasi dan razia—karena yang dikibarkan warga adalah kritik damai, bukan pembangkangan.
Di kalangan militer, Pangdam Jaya berbicara pelan: “Kalau simbol protes berkibar, fine—asal Merah Putih tetap berkibar lebih tinggi.”
Media internasional menangkap segala ini dengan tajam: bendera anime bertransformasi jadi ikon protes muda—antikorupsi, antijawab janji manis, antikebisikan politik—tanpa harus turun ke jalan. Simbolisme yang memuat amarah dan harapan sekaligus.
Magelegar di lini masa, viral di media sosial, fenomena ini lebih daripada gaya—ia adalah refleksi zaman. Sebuah pertanyaan menggantung: apakah itu tanda perlawanan kreatif atau sinyal gota getar demokrasi?
Hingga detik ini, jawaban hanya terasa di hati: Di era kritis ini, suara yang ingin didengar tidak diam. Ia mengibarkan bendera—bukan untuk mengganggu, tapi untuk mengajak.
Penulis: Muadz Akbar