HALUANRAKYAT.com -- Bayangkan, sebuah ormas lahir dari jeritan masyarakat pinggiran, lahir dari keinginan membebaskan yang lemah untuk bersuara. Itulah GMBI, Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia, deklarasi mereka bermula di Bandung tahun 2002 oleh M. Fauzan Rachman, yang sempat bertarung sebagai caleg DPRD lewat Partai Demokrasi Kebangsaan.
Pada fase awal, mereka membangun narasi heroik: "Masyarakat terpinggirkan, berdaya, dan teguh"—anggotanya diminta berhenti dari narkoba atau minuman keras, bahkan diajarkan bela diri, demi membentuk citra "LSM bersih dan beradab" (turn0search4). Rupanya, Kapolda Jabar waktu itu, Anton Charliyan, menjadi pembina mereka —untuk membentuk organisasi “karakter kuat” sekaligus menjaga tatanan sosial.
GMBI menapaki berbagai ranah: mulai dari advokasi sosial hingga aksi politik—bahkan ikut menolak RUU HIP secara tegas bersama ormas-ormas besar lainnya (turn0search8). Pernah juga ikut audiensi dengan Pemkab Ciamis, merumuskan langkah sinergis bersama pemerintah daerah demi kesejahteraan masyarakat bawah.
Namun, sebuah memori kelam tetap membayang: hari ketika solidaritas pecah jadi kekerasan. 27 Januari 2022, demo GMBI di depan Mapolda Jabar berubah menjadi kehancuran nyata: pagar patah, taman hancur, pagar juga rusak parah hingga lampu taman remuk — dan 725 orang diamankan. Dari situ, 12 di antaranya sudah ditetapkan jadi tersangka, termasuk Ketua Umum GMBI, M. Fauzan Rachman.
Fauzan meminta maaf, berjanji menindak tegas anggota yang bertindak anarkis. Tapi tak lama dia diciduk—mendadak mengejutkan publik. Polisi menemukan senjata tajam, petasan, dan sejumlah anggota positif menggunakan narkoba.
Apakah ini kehancuran kelompok militan atau gambaran rakyat yang mematung dililit frustrasi?
Mereka pernah berseteru secara langsung dengan FPI, bahkan muncul kabar bentrokan—dengan saling lempar batu dan kayu. Dua kelompok itu saling klaim versi berbeda soal siapa yang mulai—tapi dampak realnya melumpuhkan lalu lintas dan keamanan publik.
GMBI adalah dualitas: punya akar pemberdayaan, tapi juga jejak konfrontasi. Mereka lembaga masyarakat, tapi bisa jadi ancaman stabilitias—ketika solidaritas melebur jadi kekerasan. Sekarang, banyak bertanya: bagaimana agar aspirasi masyarakat pinggiran tetap berdampak, tapi tidak menjadi penggoncang tatanan? GMBI tetap menunggu perhatian—apakah untuk dukungan atau reformasi mendalam?
Penulis: Muadz Akbar