Skip to main content
Krasi

Absurditas Demokrasi di Indonesia

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sampai hari ini hanya ada dua ideologi besar yang terus bertarung di muka bumi, yakni Liberalisme yang bersistem Demokrasi dan Islam dengan keagungan sistem Khilafahnya.


Indonesia sebagai negeri penyandang predikat “Negara dengan Penduduk Muslim Terbesar di dunia”, justru menerapkan sistem demokrasi hasil pikiran Barat yang serakah. Namun, hal itu bukanlah lagi hal yang mesti dipertentangkan; mengingat di dalam demokrasi semua suara, aspirasi, ide, pikiran dan gagasan dapat diekspresikan termasuk yang berkaitan dengan Islam.


Namun, ada yang benar-benar absurd jika kita berani untuk tidak hipokrit. Jalan pikiran para elit serba setengah-setengah (1/2), bias, dan ambigu. Mari kita lihat logical fallacy di tengah-tengah mereka.


Pertama, kita mulai dari hal-hal kecil. Kemampuan berbahasa Inggris Presiden Joko widodo yang dinilai buruk oleh publik, dianggap baik oleh segelintir orang dari mereka juga dengan dalih “justru itu bagus. Berbahasa Inggris dengan khas Nusantara”.


Sangat informatif yah, mungkin sepengetahuan kebanyakan orang hanya sebatas setidaknya British dan American, tapi ternyata ada wawasan baru yaitu bahasa Inggris Nusantara. Poin pertama hanyalah intermezo agar pembaca tidak begitu tegang.


Kedua, ketika umat Islam menawarkan diskursus tentang khilafah sebagai sistem pemerintahan dari ideologi Islam, para elit dengan keahlian mereka dalam bersilat lidah mengeluarkan jurus pamungkasanya, “kita sudah punya Pancasila yang sudah sangat Islami, itu sudah final dan jangan diacak-acak lagi konsensus nasional itu. Islam kita beda dengan Islam Arab, kita punya konsep Islam sendiri, yaitu Islam Nusantara”. Setelah bahasa Inggris Nusantara, kini Islam Nusantara.


Sayangnya, kalimat indah itu hanya berhenti di mulut manis mereka saja. Faktanya, Saat umat Islam ingin menjalankan ajaran agamanya secara serius, mendalam, dan penuh penghayatan berdasarkan semangat sila pertama pada Pancasila, justru diintimidasi dengan tuduhan teroris, radikal, intoleran dan berbagai macam sangkaan keji lainnya.


Tidak hanya sampai di situ, para elit kekuasaan justru seolah ingin memonopoli tafsir Pancasila lewat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang dibentuk oleh Presiden sebagai penguasa.


Titik klimaksnya adalah ketika digulirkan RUU HIP beberapa bulan lalu yang menuai penolakan karena dinilai akan mereduksi Pancasila menjadi Ekasila. Bayangkan! mereka yang memulai, mereka juga yang mengakhiri (seperti lagu Bang Haji Roma Irama), mereka yang menegaskan bahwa Pancasila tidak boleh lagi diutak-atik karena sudah final, mereka juga yang seperti ingin ‘menggarap’ ulang Pancasila.


Ketiga. Setelah rezim Orde Baru tumbang dan bergulirnya reformasi pada 1998, kita menyambut demokrasi dengan euforia yang luar biasa. Setiap warga negara dijanjikan akan bebas menyampaikan aspirasi, mengungkapkan pendapat, mengekspresikan pikiran dan itu difasilitasi oleh konstitusi yang ada. Namun, benarkah kenyataannya demikian? TIDAK. Sama sekali tidak.


Lihat saja! Saat rakyat mulai dari mahasiswa, buruh, kaum intelektual dan seluruh lapisan masyarakat turun ke jalan menyuarakan asprasi, menangih janji, dan menuntut keadilan dengan aksi damai, mereka justru di sambut dengan barracuda, water cannon, tembakan gas yang memerihkan mata dan menyesakkan dada. Tidak hanya itu. Tidak sedikit dari para aktivis ditangkap, demonstran dianiaya dengan kejinya, bahkan ada juga yang diperlakukan dengan brutal hingga nyawa mereka direnggut oleh oknum polisi yang tidak berperikemanusiaan, meskipun mereka telah tersungkur tergeletak tak berdaya di jalan-jalan perjuangan.

 

Padahal mereka hanya menuntut apa yang sudah menjadi hak mereka. Inikah demokrasi yang mereka maksudkan? Jika setuju dengan sistem Islam maka patutlah diterapkan sistemnya secara kaffah (menyeluruh dan komprehensif). Namun, jika ingin deal dengan demokrasi, maka seharusnya kita berdemokrasi secara radikal seperti Amerika, di mana bahkan presidennya diumpat dan diolok-olok pun tidak akan berujung pada brutalitas aparatnya dan hal seperti itu bukanlah lagi merupakan hal yang dianggap tabu. Pikiran para elit hari ini tidak ada yang tuntas, semua serba setengah dan tanggung.

 

Jurus berikutnya mereka pertunjukkan lagi, “Demokrasi kita berbeda dengan Eropa dan Amerika. Kebebasan kita juga berbeda. Demokrasi dan kebebasan kita harus sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Nusantara”. Lagi dan lagi, Nusantara yang dijadikan ‘kambing hitam’. Setelah bahasa Inggris Nusantara dan Islam Nusantara, terbit lagi Demokrasi Nusantara.
Nalar para elit benar-benar cacat. Mereka seolah menyembah demokrasi tetapi paranoid terhadap kebebasan yang ada di dalam demokrasi itu sendiri.

 

Padahal, Kebebasan adalah titik klimaks dari demokrasi. Kita diajak berdemokrasi tapi kebebasan kita tidak digaransi. Entah bagimana cara mereka memahami demokrasi dan bagiamana jalan pikiran mereka.
Demokrasi di Indonesia itu ibarat kita diajak bercinta namun dilarang orgasme, tentu rasa marah akan bergejolak di dalam dada.
Terakhir. Jawaban mereka serba Nusantara, tapi apakah kebijakan-kebijakan mereka juga pro terhadap anak-anak Nusantara?

 

Jawabannya kita lihat saja pada kebijakan terakhir tentang RUU Omnibus Law yang menuai penolakan secara massif di seluruh tanah air, karena dinilai mengancam kesejahteraan buruh, menyuramkan masa depan tenaga kerja domestik dan justru ada indikasi memanjakan investor dan tenaga kerja asing (TKA). Ternyata jiwa Ke-Nusantara-an di semua jawaban mereka hanya omong kosong.

 

Apakah Indonesia masih pantas disebut sebagai Negara Demokrasi? Silahkan dijawab sesuai kacamata masing-masing. Demokrasi membutuhkan checks and balances di dalam roda pemerintahan dengan pembagian kekuasaan; eksekutif, legislatif, dan yudikatif (trias politica). Namun yang terjadi hari ini, DPR (legislatif), dan lembaga yudikatif telah menjadi ladies yang sedang saling berbagi peran melayani nafsu bejat eksekutif yang sedang ingin menuntaskan libido kekuasaan yang menggebu-gebu di dalam istana.

 

Keintiman Threesome ini sungguh-sungguh sensual. Akan tiba masanya, rakyat pasti akan menciduk, lalu membawa mereka ke pengadilan jalanan (street court) jika benar-benar sudah tidak tahan melihat kelakuan mereka.

 

Trias Politica memang ada secara fisik dengan wujudnya sebagai eksekutif, legislatif dan yudikatif, namun distribusi keadilan tidak sampai kepada rakyat sebagai pemegang daulat yang sesungguhnya. Ketiganya telah melebur menjadi satu entitas yakni eksekutif super. Parlemen sudah mati dengan bergabungnya hampir semua partai politik di kubu pemerintah dan menyisakan secuil oposisi yang tidak berdaya.

 

Lembaga penegakan hukum akan menjadi sangat heroik jika menangani kasus dari wong cilik, namun menjadi pikun saat menangani kasus yang menjerat para elit, sedangkan pemerintah lebih sibuk memanjakan asing.

 

Kebebasan warga negara dalam mengemukakan pendapat, aspirasi, dan pikiran sebagai kemuliaan demokrasi sudah dirampas. Di depan Istana dan Gedung DPR, rakyat akan dihadang oleh aparat pengayom penguasa, sedangkan di sosial media, rakyat diintai dengan UU ITE. Padahal, sebelum mereka duduk disinggasana agung itu, dulu mereka di sambut oleh rakyat dengan hidangan teh panas manis, karena mereka datang berlagak akrab dengan rakyat.


Anak penguasa mengajukan diri menjadi bakal kepala daerah dan lolos, menunjukkan bahwa politik Indonesia hari ini sangat dekat dengan politik dinasti. Meskipun itu sah secara demokratis, namun secara etis-demokratis juga itu merupakan aib yang sangat tercela. Sebab bagaimana pun juga, kekuasaan di dalam demokrasi tidaklah dibenarkan jika bertumpuk pada satu golongan.


Dengan rusaknya organ vital demokrasi di negeri ini, apakah Indonesia masih layak disebut sebagai negara demokrasi? Hanya ada satu hal yang membuat Indonesia disebut sebagai negara demokrasi, yakni karena presiden dan wakil presiden serta wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat dan pemilihan umum (pemilu). Selebihnya, hanya bualan semata.

 

Penulis: Zul Karnaen, Alumni Universitas Halu Oleo

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.