Aksi Represif Polisi terhadap Pendemo SEDARAH Dikecam, Aktivis Prodem: Sebuah Potret Buram
HALUANRAKYAT.com, KENDARI - Aksi solidaritas memperingati setahun gugurnya dua orang mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari dalam demonstrasi "Reformasi Dikorupsi, Rakyat Bergerak" tahun lalu di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (26/9/2020) berakhir ricuh.
Polisi dan massa yang terdiri dari berbagai elemen mahasiswa terlibat kericuhan, bahkan hingga larut malam. Kericuhan menjalar bahkan hingga ke simpang tiga kampus UHO, sekitar tiga kilometer dari titik aksi demonstrasi.
Kericuhan ini ditengarai bermula ketika aksi unjuk rasa damai di depan Mapolda Sultra itu diprovokasi oleh ulah sebuah helikopter milik Polairud Polda Sultra yang terbang rendah di tengah-tengah massa aksi.
Manuver helikopter itu berhasil menghamburkan debu-debu jalanan dan membuat para demonstran kocar kacir. Massa yang tersulut emosinya mencoba ditenangkan oleh Kapolres Kendari AKBP Didik Erfianto dan Kabag Ops Polres Kendari AKP Adri Setiawan.
Emosi massa sempat mereda. Mereka lalu melanjutkan orasi dengan salah satu tuntutannya adalah bertemu dan berdialog dengan Kapolda Sultra Irjen Pol Yan Sultra Indrajaya.
Namun, alih-alih menyanggupi tuntutan massa aksi, polisi justeru bertindak represif dengan membubarkan massa. Polisi menembakkan gas air mata dan meriam air ke arah pendemo. Massa membalas dengan lemparan batu dan kayu.
Polisi menangkap beberapa pengunjuk rasa. Dua diantaranya mengalami luka di bagian kepala dan wajah. Diduga kuat, mereka menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh oknum polisi yang menangkap mereka.
Informasi yang beredar, setidaknya terdapat tujuh belas orang yang ditangkap oleh polisi, enam belas orang adalah pendemo dan satu diantaranya merupakan wartawati sebuah media daring lokal.
Namun, tak ada pernyataan resmi dari kepolisian dalam hal ini Polda Sultra atas informasi tersebut. Para pejabat berwenang yang dihubungi para awak media tak memberikan jawaban apapun.
Tindakan provokatif - represif aparat kepolisian terhadap aksi SEDARAH ini mendapat kecaman dari aktivis pro demokrasi, Hidayatullah.
Menurut Hidayatullah, hal ini adalah potret buram kepolisian dan sikap menghalau asap dan tidak memadamkan bara api.
"Peraturan Kapolri Nomor 16 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian massa ini lazim sebagai Protap di kepolisian dan tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif. Dalam kondisi apapun," ujar Hidayatullah, Minggu (27/9).
Katanya, Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan pengendalian massa (dalmas) dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Protap juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur.
"Bahkan hal rinci, seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan kemanusiaan, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang apalagi memukul dan menyeret bagaikan hewan. Maka Komnas HAM punya wilayah dapat mengusut pelanggaran terhadap kemanusiaan yang menimpa apabila ada tindakan represif aparat seperti ini," imbuhnya.
"Tentunya langkah awal pimpinan lepolisian menegakkan aturan terhadap aparatnya. Kapolda iya, bertanggungjawab. Kapolres iya. Saya sangat menyayangkan Protap yang terlihat begitu ketat ternyata hanya macan kertas," tegasnya ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) ini.
Kejadian di lapangan, lanjut Hidayat, seolah-olah menafikkan keberadaan aturan polisi harusnya memiliki kesabaran ekstra. Dilempari atau dicaci-maki seharusnya menjadi menu sehari-hari bagi polisi, khususnya untuk satuan dalmas.
"Melihat penanganan mengatasi unjuk rasa solidaritas SEDARAH oleh adik-adik mahasiswa dengan cara aparat over action dan represif itu sepertinya kondisi Polri saat ini masih belum siap untuk bertransformasi menjadi polisi sipil. Polisi sipil yang siap melayani masyarakat dan melepaskan "atribut" militer mereka. Polisi masih lebih takut kepada komando, ketimbang melihat substansi keadilan tuntutan publik. Selain itu, jika berbuat kesalahan terkadang polisi juga tidak mau disalahkan. Bahkan pola-pola otoriter masih terbawa di mental Polri kita," bebernya.
Sebagai aktivis Prodem, Hidayatullah juga memahami cukup banyak kendala melingkupi pelaksanaan dalmas oleh aparat polisi. Tetapi apapun kendalanya, tentu tidak akan sebanding jika ada yang terluka atau nyawa melayang.
"Bagi saya tindakan kepolisian terhadap aksi demonstrasi mahasiswa dalam solidaritas SEDARAH tertembaknya Randy- Yusuf setahun lalu seperti menghalau asap tapi tidak memadamkan bara apinya. Sebab, semakin aparat bertindak represif, militansi para mahasiswa pasti semakin kuat. Saya pernah merasakan semangat itu dan saya yakin rasa dan semangat itu masih sama. Karena itu, saya sangat kecewa melihat kepolisian tidak mengubah prosedurnya ketika menghadapi pendemo ataupun mahasiswa pada aksi SEDARAH itu," tegasnya lagi.
Ia meminta bahwa, Polisi harusnya memahamkan bahwa mahasiwa itu makin ditekan mereka makin tidak takut. Mungkin aparat beralasan bahwa dengan harapan ditindak tegas, direpresif, maka mereka akan menyerah. Hal itu justeru salah besar.
"Saya jamin pasti tidak. Justru mahasiwa makin berani berekspresi. Ini soal salah pendekatan, karena aparat cenderung tidak paham cara menghadapi mahasiswa yang bergerak begitu karena menuntut keadilan, profesionalisme dan transparansi pengusutan kasus tertembaknya Randy dan Yusuf setahun lalu dimana nyawa mereka melayang diterjang peluru Aparat," pungkasnya.