HALUANRAKYAT.com, KENDARI --Sejumlah dosen dari Universitas Halu Oleo (UHO) baru-baru ini menyelesaikan serangkaian kegiatan lapangan di Kecamatan Nambo, Kota Kendari. Hal ini merupakan Penelitian Dosen Pemula Internal UHO.
Penelitian yang diketuai oleh Hasdairta Laniampe bersama Bainudin, Taufiq Said, dan Irawati Tapasi ini bertujuan untuk mengungkap akar masalah non-kepatuhan sebagian masyarakat terhadap layanan kesehatan formal, dalam hal ini Puskesmas, melalui pemahaman mendalam terhadap narasi dan keyakinan lokal.
Penelitian ini menggarisbawahi adanya fenomena pluralisme medis di Nambo, di mana masyarakat secara tegas membagi penyakit menjadi dua kategori: penyakit medis dan penyakit spiritual atau non-medis.
Ketua tim penelitian ini menjelaskan, narasi lisan masyarakat menjadi kunci utama dalam pengambilan keputusan berobat.
"Narasi ini secara eksplisit memisahkan dua dunia pengobatan. Misalnya, untuk keluhan umum seperti perut melilit, mereka memilih Puskesmas. Namun, untuk kondisi yang mereka yakini sebagai serangan supranatural, seperti Morambeako atau keteguran makhluk halus dan Bajabu atau keracunan tersembunyi, Puskesmas dianggap tidak relevan," kata Hasdairta, Minggu (2/11/2025).
Dalam narasi lisan, lanjutnya, penyakit seperti Morambeako dideskripsikan memiliki kegawatan waktu ekstrem, di mana korban bisa meninggal dalam hitungan menit, ditandai dengan perubahan fisik seperti kuku menghitam. Karena kecepatan fatal ini, intervensi medis formal dianggap tidak mampu memberikan pertolongan yang memadai.
"Temuan lapangan juga menunjukkan konsekuensi mematikan dari dualisme ini.Sebuah kutipan dari tenaga medis Puskesmas membenarkan masih ada sekitar 5% hingga 10% pasien datang berobat ketika penyakitnya sudah mencapai tahap kronis atau unfall dengan kondisi terlambat ditangani," bebernya.
Hasil penelitian ini memberikan masukan krusial bagi pemerintah daerah dan tenaga kesehatan. Tim PDP UHO menyarankan agar Puskesmas mengakui dan memahami model penyakit lokal dengan memasukkan pemahaman tentang Morambeako dan Bajabu ke dalam pelatihan tenaga kesehatan agar dapat menjembatani komunikasi.
"Masukan yang kedua adalah fokus pada kegawatan waktu dengan mengedukasi masyarakat secara persuasif mengenai tanda-tanda bahaya klinis yang mengancam jiwa dan menekankan bahwa Puskesmas adalah layanan tercepat dan teruji untuk mengatasi kondisi kegawatan, terlepas dari penyebab etiologi yang diyakini," jelas Hasdairta.
Ketiga adalah Puskesmas perlu membangun jembatan kolaborasi dengan menjajaki kemungkinan kolaborasi atau rujukan balik dengan tokoh adat untuk kasus tertentu, demi memangkas waktu penundaan pengobatan.
"Data narasi ini memperkuat perlunya pendekatan Culturally Sensitive Care. Keberhasilan program kesehatan masyarakat di Nambo sangat bergantung pada kemampuan Puskesmas untuk berdialog dan bersinergi dengan keyakinan lokal," pungkasnya.