HALUANRAKYAT.com, BUTON -- Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan pasal (5) poin (6) menyebutkan bahwa manuskrip merupakan salah satu dari 10 objek pemajuan cagar budaya (OPK).
Manuskrip atau biasa dikenal dengan istilah “naskah kuno” adalah objek studi dalam dunia filologi merupakan salah satu hasil karya budaya (tradisi tulis) hasil peninggalan nenek moyang yang berisi pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti yang luas mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, sejarah dan kebudayaan atau berisi rekaman pikiran dan kehidupan umat manusia yang beraspek masa lampau; tentang sejarah, kebudayaan, hukum, agama, politik, ekonomi dan lain-lain; biasanya menggunakan materi (alas naskah, pena, tinta dan aksara) yang bersifat tradisional; ditulis dengan bahasa dan aksara yang berkembang pada zamannya.
Melalui studi filologi yang dilakukan tim peneliti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo dapat diketahui bahwa kandungan teks-teks naskah Buton memuat berbagai rekaman informasi mengenai segala aspek kehidupan orang Buton pada masa lampau diantaranya; (1) teks-teks tentang ajaran Islam; (2) teks-teks yang mengandung unsur kesejarahan; (3) teks-teks yang berisi undang-undang ketatanegaraan dan hukum adat Buton; (4) teks-teks yang berisi tentang obat-obatan tradisional; (5) teks-teks yang berisi Pelajaran kebahasaan; (6) teks-teks yang berisi tentang primbon dan (7) teks-teks naskah yang berisi unsur kesusastraan.
Sehubungan dengan itu, penelitian ini mengangkat salah satu judul Naskah Buton berisi tentang peraturan hukum adat berjudul “Sarana Sabandara” selengkapnya “Kajian Filologi Terhadap Naskah Buton Berjudul Sarana Sabandara”.
"Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk kritik teks terhadap naskah Buton berjudul “Sarana Sabandara" dan menganalisis teks naskah Buton berjudul “Sarana Sabandara” berdasarkan pendekatan hermeneutika," kata ketua tim peneliti, La Niampe, Minggu (15/12/2024).
Naskah berjudul “Sarana Sabandara” atau disebut juga “Sarana Juru Basa” adalah merupakan salah satu subteks dari naskah induk yang berjudul “Istiadatul Majmuua”.
Menurut hasil penelusuran melalui “Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari”, naskah ini tersimpan di nomor kode koleksi HU/9/AMZ, 74/Wolio/19/104 dan HU/10/AMZ, 312/Wolio/19. Selain tersimpan di koleksi pribadi, almarhum Abdul Mulku Zahari di Buton, naskah ini tersimpan pula di beberapa koleksi seperti berikut;
1) Koleksi Perpustakaan Nasional RI di Jakarta;
2) Koleksi Arsip Nasional RI di Jakarta;
3) Koleksi KITLV Leiden dalam bentuk mikrofilem dengan kode RO/2.25 dan kode Rol 4.14.
4) Koleksi pribadi imam keraton Buton Bapak La Ode Abdul Muzakir di Kelurahan Tarafu, Kecamatan Batu Poaro Kota Baubau
5) Koleksi pribadi Prof. Dr. La Niampe, M.Hum di Kelurahan Anggoeya, Kecamatan Poasia, Kota Kendari.
6) Koleksi pribadi Hasarudin, M.Hum, Kelurahan Tanganapada, Kecamatan Murhum, Kota Bau-Bau.
"Naskah prosa ini ditulis dalam bahasa Wolio dengan menggunakan aksara Arab modifikasi Wolio atau lazim disebut Buri Wolio. Tebal naskah induk yang berjudul “Istiadatul Majmuua” adalah 117 halaman sedangkan subteks berjudul “Sarana Sabandara” atau “Sarana Juru Basa” memiliki tebal 15 halaman; jumlah baris per halaman 32-43 baris, dan ukuran fisik naskah 29x20,5 cm," beber La Niampe.
Ia menjelaskan, alas yang digunakan untuk menuliskan teks naskah adalah kertas Eropa dengan cap kertas Pro Patria. Kondisi fisik naskah telah menunjukkan kerusakan akibat perawatan yang kurang memadai serta usia kertas yang sudah cukup tua, menggunakan tinta hitam, teksnya masih terbaca dengan jelas. Adapun naskah ditulis atau disalin pada tahun 1266 H.
"Isi atau teks naskah “Sarana Sabandara” atau naskah “Sarana Juru Basa” memuat berbagai peraturan Kerajaan Buton yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pedagang asing dan hal ini menjadi tugas pokok dan fungsi “Juru basa” dan “Syahbandar” yang melaksanakannya," paparnya.
Adapun beberapa peraturan yang dimaksud diringkas seperti berikut;
1) Peraturan bagi pedagang asing yang berdagang di pelabuhan Bau-Bau;
2) Peraturan bagi pedagang asing yang hanya singgah di pelabuhan Bau-Bau;
3) Peraturan bagi pedagang asing yang tinggal di wilayah Kerajaan Buton;
4) Peraturan bagi pedagang asing yang kawin di Kerajaan Buton;
5) Peraturan bagi pedagang asing yang berselisih faham di kerjaan Buton;
6) Peraturan bagi pedagang asing yang perahu dan kapalnya terdampar di wilayah perairan Kerajaan Buton;
7) Peraturan bagi pedagang asing yang meninggal di wilayah Kerajaan Buton; dan
8) Peraturan bagi pedagang asing yang melanggar hukum adat Kerajaan Buton.
"Tulisan Wolio atau dikenal dengan nama Buri Wolio pada prinsipnya diadopsi dari aksara Arab-Melayu. Akan tetapi, Sebagian dalam penggunaannya telah mengalami penyesuaian berdasarkan ciri-ciri khusus bahasa Wolio," jelasnya.
Naskah “Sarana Sabandara” atau “Sarana Juru Basa” yang telah ditransliterasi harus diterjemahkan agar dapat dipahami makna dan pesan yang terkandung didalamnya. Untuk memperoleh hasil terjemahan yang memadai digunakan metode terjemahan idiomatis (Larson, 1988: 16-17).
"Metode terjemahan idiomatis menitikberatkan kepada bahasa sasasran dan berusaha menyampaikan makna teks Bahasa sumber dalam bentuk bahasa sasaran yang wajar, baik tatabahasa maupun padanan katanya. Yang dimaksud dengan bahasa sumber dalam teks “Sarana Sabandara” atau “Sarana Juru Basa” ialah bahasa Wolio dan yang dimaksud dengan bahasa sasaran adalah bahasa Indonesia," tutup La Niampe.