Skip to main content
Walhi

Nestapa Masyarakat Pomalaa, Sawah Ladang Rusak Terkepung Tambang

HALUANRAKYAT.com, KOLAKA -- Aktivitas pertambang di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) telah menghancurkan ratusan hektar sawah di tiga desa. Banjir kiriman membawa material tanah bekas galian tambang nikel  merendam sawah di tiga desa yaitu Desa Pesauha, Pelambua dan Desa Totobo, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka.

Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra, lahan persawahan terendam banjir kurang lebih sekitar 650 Hektare. Areal sawah yang terendam lumpur material tambang nikel terparah terjadi di Desa Pesauha. Di desa ini sekitar 500 hektare sawah petani terdampak.

Menurut petani bernama Ansal (54), banjir lumpur ini menerjang sawah masyarakat pada 26 Maret 2023 lalu, empat hari setelah mereka menanam. Saat itu, pagi hari, wilayah Kabupaten Kolaka dan sekitarnya diguyur hujan selama dua jam. Sungai yang berada di dekat persawahan meluap. Lantaran, sungai itu sudah tak bisa menampung debit air bercampur tanah dari bukit gunung lokasi pertambangan. Banjir lumpur setinggi 40 sentimeter akhirnya merendam areal persawahan.

Sepekan berikutnya, banjir susulan terjadi usai hujan kembali melanda Kabupaten Kolaka. Tak pelak, sungai kembali meluap membawa sedimentasi material tambang nikel dan merendam persawahan.

"Kejadian banjir lumpur itu tanggal 26 Maret. Meluap sungai setelah hujan dua jam saja. Saya ada di sawah pada saat itu. Saya hambur bibit itu tanggal 22, tanggal 23 itu sudah masuk puasa. Saya di sawah pada saat itu, karena hujan lebat, saya pulang ke rumah. Setelah dua jam hujan, saya kembali ke sawah semuanya sudah banjir lumpur. Kejadian ini sudah sering terjadi tetapi dulu itu hanya air saja yang berwarna kemerahan. Tapi kali ini dengan lumpurnya. Dulu paling lumpurnya ketebalan setengah sentimeter. Tapi ini cuma hujan dua jam, lumpurnya sudah setebal empat puluh sentimeter. Semua berwarna merah ini persawahan. Mati itu padi karena terendam banjir tanah merah, dua malam saja itu mati padi, apalagi kalau sudah satu minggu,” keluh Ansal.

Menurut Ansal, banjir lumpur kali ini paling parah di banding tahun-tahun sebelumnya.
Lantaran, areal persawahan terendam banjir sangat luas mencapai ratusan hektare.

Banjir tersebut membuat sawah yang baru ditanami rusak bahkan terancam mati. Produksi pertanian ikut menurun, ancaman gagal panen juga membayangi para petani.
Dalam sekali menanam, petani harus mengeluarkan biaya Rp3,5 juta per hektare.

“Itu belum termasuk ongkos pupuk, kalau misalnya tumbuh sampai panen, sudah berapa kerugian kami para petani,” ungkap Ansal.

Dalam kondisi setelah terendam lumpur, petani di tiga desa ini tetap berupaya agar sawah bisa tumbuh. Mereka pun menyemainya dengan pupuk lebih banyak, berharap sawah bisa tetap tumbuh, namun kualitas tanaman diyakini akan rusak.

Sawah


Sebelum banjir menerjang, para petani biasanya menghasilkan tujuh hingga sepuluh ton gabah per hektare dalam sekali panen. Namun, akibat dampak aktivitas pertambangan ini, petani hanya bisa memanen empat sampai lima ton gabah per hektare saja.

Setiap terjadi banjir lumpur menggenangi persawahan, petani biasanya mengadu ke pemerintah setempat untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan tambang nikel.

Ansal bilang, perusahaan tambang memang memberi ganti rugi kepada para petani setelah menggelar pertemuan yang dimediasi pemerintah setempat.

“Waktu itu perusahaan kasih Rp600 ribu per orang, ditambah pupuk empat karung,” beber Ansal.

Namun kini, para petani sudah bosan mengadu kepada pemerintah dan meminta pertanggungjawaban perusahaan tambang.
Lantaran, perusahaan tambang yang beroperasi di dekat areal persawahan tidak bisa memberikan solusi. Salah satu solusi yang ditawarkan para petani yakni untuk menormalisasi Sungai Pesauha, dan membangun tanggul penghadang luapan air lebih tinggi.

“Kami sudah malas, karena percuma tidak ada solusi, sudah berkali-kali ini terjadi setiap hujan turun,” kesalnya.

Ansal khawatir, apabila banjir lumpur terus merendam persawahan, suatu saat wilayah tersebut tak bisa lagi ditumbuhi tanaman apapun. Tak hanya sawah, tanaman jangka pendek yang lain juga tak bisa tumbuh. Hal ini mengancam masa depan kehidupan para petani.

Ancaman kehilangan mata pencaharian sebagai petani juga menghantui, apalagi selama ini sumber penghidupan warga satu-satunya, hanyalah bertani.

“Kalau begini terus, ini akan jadi tanah mati, tidak ada yang bisa tumbuh selain rumput gajah. Sampai anak cucu ini dampaknya,” ucap Ansal.

Ansal berharap Pemerintah Kabupaten Kolaka segera turun tangan untuk mencari solusi dari permasalahan ini.

Sawah


Direktur Walhi Sultra Andi Rahman mengecam masalah ini aktivitas tambang nikel yang berimbas ke lahan sawah produktif masyarakat. Walhi Sultra menyebut, ada dua hingga tiga perusahaan tambang yang beroperasi di dekat areal persawahan warga.

“Kami prihatin dengan kondisi yang dialami warga. Kami menyayangkan perusahaan tambang beroperasi tanpa melihat aspek lingkungannya,” ujar Andi Rahman, pada Senin (10/4/2023).

Walhi Sultra menduga, aktivitas perusahaan tambang di Kecamatan Pomalaa tidak menjalankan rekomendasi analisis dampak lingkungan. Pasalnya, dua perusahaan tambang nikel tidak membangaun cekdam penampungan bijih nikel. Sehingga, ketika hujan, material tambang langsung turun ke sungai menjadi lumpur tanah merah. Saat ini, Walhi Sultra masih melakukan identifikasi dan mendalami lebih jauh masalah pencemaran lingkungan ini.

“Kami meminta perusahaan tambang yang beroperasi di dekat sawah untuk dihentikan, karena tidak sesuai dengan aturan dan kajian lingkungan. Tentunya ini adalah salah satu bukti nyata, ancaman nyata bagi petani yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan. Hal ini jika tidak ada perhatian khusus dari Pemerintah, tentunya ini akan berakibat terhadap ekonomi petani ke depan," kata Rahman.

Apalagi, lanjutnya, dengan isu saat ini yang dihadapi bahwa Indonesia akan menghadapi krisis pangan yang kemudian jika dilihat produksi pangan di Sultra saat ini agak menurun. Ini harus ada perhatian khusus ke depan. Jika dilihat problem yang ada di tiga desa itu, ini adalah salah satu dampak akibat dari adanya pertambangan yang dilakukan dengan tidak mengikuti mekanisme atau aturan yang ada.

"Misalnya, dari aktivitas itu mengakibatkan sedimentasi di sungai yang mengakibatkan penyempitan sungai sehingga jika turun hujan sungainya meluap. Ini harus ditinjau kembali oleh pemerintah tentang izin-izin yang ada di sekitar persawahan itu. Sejauh ini, tentunya harus diperiksa kembali di Pomalaa itu masuk dalam tata ruang apakah perkebunan ataukan pertambangan. Ini juga harus dipastikan oleh pemerintah karena dampak yang hari ini dirasakan oleh petani itu berawal dari izin yang dikeluarkan oleh pemerintah," tegasnya.

Seharusnya, kata dia lagi, pemerintah sebelum mengeluarkan izin, memperhatikan dulu tata ruang yang ada di lokasi tersebut. Ini akibatnya jikalau pemerintah hanya mementingkan ego dengan dalih peningkatan ekonomi tanpa memperhatikan wilayah-wilayah yang dikelola rakyat yang ada di sekitar.

"Ancaman yang sudah dirasakan pertama adalah gagal panen dari lahan yang petani garap. Kedua adalah tanah yang ditanami itu tidak akan produktif lagi. Lalu jika petani sudah tidak menanam lagi, ini pasti akan mengganggu perekonomian mereka. Jadi prihatin bagi kita. Kalau di Hakatutobu itu, dulu masyarakat itu bertani rumput laut dan mencari teripang. Mereka sebagai nelayan itu bisa menghasilkan dalam satu kali panen bisa ratusan juta rupiah. Sekarang itu hanya tinggal cerita dengan masuknya tambang, yang mereka dapatkan sekarang hanya banjir lumpur. Sebagian masyarakat yang dalam keadaan terpaksa akhirnya menjadi pekerja tambang di desa itu," ungkapnya.

Sawah


Pandangan Walhi, kata Rahman, seharusnya wilayah-wilayah yang menjadi kelola masyarakat sebagai sumber penghidupan mereka itu jangan dirusak. Hal yang terjadi di Hakatutobu dan tiga desa lainnya adalah contoh aktor-aktor tambang tidak menjalankan aktivitasnya sesuai prosedur.

"Ini patut dipertanyakan Amdalnya. Dalam aktivitas pertambangan itu seharusnya yang mengawasi adalah pemerintah, Pemerintah harus memberikan sanksi. Evaluasi izin-izin yang ada bahkan jika perlu dicabut izinnya. Inu menyangkut penghidupan masyarakat. Pemerintah saat ini seolah-olah tidak ingin tahu tentang apa yang menjadi masalah di masyarakat itu," pungkasnya.

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.