HALUANRAKYAT.com, KENDARI - Aktivis mahasiswa asal Buton Utara, Sulawesi Tenggara bernama Baada Yunghum Marasa ditangkap polisi lantaran dituding telah mencemarkan nama baik dan menyerang kehormatan Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi.
Baada ditangkap oleh petugas dari Subdirektorat III Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sultra pada Senin, 17 Januari 2022 pukul 22.00 WITA di Lorong Wasula, Desa La Noipi, Kecamatan Bone Gunu, Buton Utara.
Ia ditangkap setelah adanya laporan seorang ajudan gubernur Sultra yang bernama Muhammad Ulil Amri yang melaporkan Baada ke Polda Sultra. Ia dianggap telah melakukan pencemaran nama baik dan menyerang kehormatan gubernur dalam sebuah aksi demonstrasi menyoal jalanan rusak yang tak kunjung diperbaiki oleh pemerintah.
Dalam demonstrasi itu, Baad bersama rekan-rekannya membawa foto Gubernur Ali Mazi yang berpakaian dinas dan meletakkannya di atas batu nisan serta keranda mayat. Hal ini dianggap sebagai simbol kealpaan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur jalan di Buton Utara.
Akademisi hukum pidana Universitas Muhammadiyah Kendari, Hariman Satria mengatakan, tindakan polisi menangkap Baada merupakan sebuah kekeliruan.
"Ini kekeliruan penegakan hukum. Dari segi materil, perbuatan itu tidak termasuk pencemaran nama baik sebab dikatakan "blasphemy" karena ucapan seseorang itu merendahkan atau menyerang martabat orang lain," kata Hariman, Rabu (19/1/2022).
Dari sisi formilnya, lanjut dia, jika Ali Mazi merasa menjadi korban pencemaran nama baik, maka ia sendiri yang mestinya melaporkan ke pihak yang berwajib atau kuasanya.
"Sebab perbuatan ini kategori delik aduan bukan delik biasa. Ini Pasal 310 KUHP. Kuasa adalah kuasa hukum tepatnya, bukan sekedar menunjuk kuasa," jelasnya.
Hal lain yang disoroti oleh alumni Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada ini adalah keterangan polisi yang mengatakan tidak melakukan penangkapan terhadap Baada. Namun hanya membawa mahasiswa Universitas Dayanu Ikhsanuddin itu dari Buton Utara ke Mapolda Sultra di Kendari.
"Itu ambigu. Dibawa dalam rangka apa? Jika bukan suatu proses pidana bagaimana jika terjadi sesuatu kepada mahasiswa itu, siapa yang bertanggung jawab. Cara itu mirip penculikan aktivis zaman orde baru. Orang dibawa tanpa keterangn yang pasti," imbuhnya.
Ia meminta polisi bersikap netral dalam kasus ini dan berpikir secara jernih. Ia juga meminta agar aparat jelas dalam melakukan proses hukum terhadap aktivis mahasiswa itu.
"Sebaiknya polisi netral dan berpikir jernih dalam menghadapi masalah ini. Sebab, mesti dipisahkan secara tegas yang mana kritik kepada pemerintah dan yang mana pencemaran nama baik. Sebaiknya polisi memperjelas jika sedang melakukan proses hukum kepada mahasiswa tersebut sebab ia memiliki HAM yang mesti dilindungi," ungkapnya.
Kandidat doktor hukum pidana ini juga meminta agar selama menjalani proses hukum, aktivis mahasiswa yang ditangkap ini diberikan hak-haknya seperti pendampingan pengacara dan dokter.
"Harus dihubungi keluarganya, menunjuk pengacara sebagai pendampingnya. Juga dokter jika ia merasa kurang sehat. Jika statusnya bukan proses hukum, berarti polisinya melakukan tindak pidana perampasan kemerdekaan kepada mahasiswa itu. Melanggar pasal 333 KUHP," timpalnya.