HALUANRAKYAT.com, KENDARI - Investasi di sektor hilirisasi berbasis sumber daya alam memiliki peran yang vital untuk mendukung sasaran strategis penanaman modal. Salah satu sektor sumber daya alam yang penting untuk dikembangkan hilirisasinya dalam rangka pemenuhan energi dan bahan baku industri di dalam negeri adalah minyak, gas bumi, mineral dan batubara.
Selain dalam bidang energi dan bahan baku industri, diperlukan transformasi ekonomi Indonesia yang melibatkan pemindahan alokasi sumber daya dari sektor yang memiliki produktivitas rendah ke tinggi, yaitu melalui upaya hilirisasi perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan nasional.
Hal itu terungkap dalam Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) Penyusunan Peta Jalan (Roadmap) Hilirisasi Investasi Strategis di Sulawesi Tenggara antara Kementerian Investasi (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dengan Pemerintah Provinsi Sultra, Selasa (13/9/2022).
Direktur Hilirisasi Minerba Kementerian Investasi, Hasyim mengatakan, investasi di sektor hilirisasi ini dinilai berdampak besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena dari sektor energi dan bahan baku industri hingga tahun 2030 tren kebutuhan bahan bakar minyak diperkirakan akan terus meningkat, sedangkan kapasitas kilang belum bisa memenuhi kebutuhan.
"Dalam rangka menangkap proyeksi peluang investasi sektor hilirisasi, Kedeputian Hilirisasi Investasi Strategis, Kementerian Investasi/BKPM melaksanakan penyusunan Peta Jalan Investasi Hilirisasi. Tujuan dari penyusunan Peta Jalan Hilirisasi Investasi Strategis untuk memberikan landasan arah kebijakan dan sinergi dalam mendorong investasi hilirisasi. Penyusunan peta jalan meliputi pemetaan peluang dan tantangan komoditas strategis melalui analisis kinerja perdagangan, keterisian pohon industri, identifikasi nilai tambah produk olahannya serta tahapan hilirisasi investasi komoditas," kata Hasyim kepada awak media.
Keluaran dari penyusunan Peta Jalan Hilirisasi Investasi Strategis ini, lanjutnya, diharapkan mampu menjadi referensi bagi Pemerintah dan dunia usaha dalam rangka hilirisasi investasi.
"Mineral logam yang terkandung di Indonesia diidentifikasi memiliki nilai tambah yang tinggi jika diolah melalui skema hilirisasi. Sebagai contoh, mineral logam nikel dengan Indonesia mempunyai 30% cadangan nikel dunia, mampu ditingkatkan nilai tambahnya hingga 350 kali lipat melalui pengolahan bijih nikel menjadi nikel murni sebagai bahan baku baterai," imbuhnya.
Ia mencontohkan, produk turunan nikel lainnya juga turut menyumbangkan peningkatan nilai tambah yang signifikan: nickel pig iron (28kali lipat), ferronickel (74 kali lipat), dan nickel matte (245 kali lipat).
"Peningkatan permintaan masyarakat dunia akan stainless steel dan kendaraan listrik turut menyumbang terhadap peningkatan permintaan nikel dunia. Antara tahun 2020 dan 2040, diperkirakan akan terjadi supply gap nikel dunia hingga 1,83 juta ton nikel, yang mana merupakan peluang besar bagi pengembangan industri nikel Indonesia untuk mengisi kekosongan pasar domestik dan global tersebut," jelasnya.
Sementara itu, di sektor perikanan, hilirisasi industri sektor perikanan merupakan amanah dari Rencana Induk Pembangunan Industri nasional (RIPIN) 2015-2035 yang menitikberatkan pada pengembangan industri pangan.
Sebagaimana amanah RIPIN Perikanan sebagai sumber pangan, difokuskan pada pengawetan ikan (beku, kering dan asap) dan fillet serta aneka olahan ikan dan hasil laut lainnya (minyak ikan, suplemen kesehatan dan pangan fungsional lainnya).
"Dalam rangka implementasi kebijakan tersebut diperlukan roadmap pengembangan ke depan hingga 2045. Di dalam roadmap tersebut pemerintah berencana mengembangkan hilirisasi perikanan yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah produk dan berorientasi pada pasar," ujarnya.
Sektor perikanan akan berfokus pada pengolahan hasil perikanan dari komoditas udang, ikan (tuna, tongkol, rajungan), dan rajungan/kepiting. Pemilihan komoditas didasarkan atas pertimbangan bahwa nilai ekspor komoditas udang pada tahun 2019 menempati urutan tertinggi dari seluruh komoditas perikanan, dengan nilai USD 1.7 juta dengan share sebesar 35% dari total ekspor perikanan (2019).
Diikuti oleh ikan (TTC) senilai USD 747,538 dan share terhadap total sebesar 15%. Sedangkan untuk Rajungan-kepiting, nilai ekspor menempati posisi ke-4 dengan nilai USD 393,498 dan market share sebesar 8% dari total ekspor perikanan.
"Pemilihan ketiga komoditas tersebut, tidak hanya karena mempunyai nilai ekspor yang tinggi, namun mempunyai added value yang cukup besar, baik dari produk utamanya maupun by product-nya. Seperti udang, rajungan, kepiting, by product-nya berupa cangkang yang potensial dimanfaatkan untuk chitin chitosan. Sedangkan untuk ikan (TTC), dari sisa-sisa olahan yang berupa kulit, tulang dan jeroan, dapat dimanfaatkan untuk pembuatan tepung ikan, minyak ikan, kolagen maupun gelatin," beber Hasyim.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka investasi perikanan ke depan diharapkan berorientasi pada konsep bisnis hilirisasi perikanan yang terintegrasi. Dengan mengoptimalkan hilirisasi produk utama serta produk turunan. Pendekatan ini sejalan dengan konsep blue economy yang salah satunya bercirikan zero waste, adopsi inovasi, multiplier economy dan social inclusive. Dengan memanfaatkan limbah produk yang bernilai tambah, maka akan melahirkan industri yang nir limbah, menyerap tenaga kerja dengan adanya industri baru, peningkatan kesejahteraan dan pentingnya pemanfaatan teknologi dan inovasi dalam menghasilkan produk bernilai tambah tinggi.
"Pendekatan berikutnya adalah integrasi antara perusahaan berskala menengah besar dengan UMKM dalam kemitraan sinergis yang saling menguntungkan. Pola kemitraan dalam industri pengolahan skala menengah-besar dan UMKM ini dapat terjadi pada produk utama dengan pengolahan limbahnya atau by product-nya," pungkasnya.