HALUANRAKYAT.com, KENDARI - Seorang kepala desa (kades) di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara menjadi tersangka usai ia bersama warga desanya melakukan renovasi sebuah masjid.
Kepala Desa Hakatotobu, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Nurdin dan istrinya yang bernama Irnawati ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pengrusakan bangunan masjid.
Kuasa hukum kedua tersangka, Andre Darmawan mengatakan, penetapan tersangka terhadap pasangan suami istri ini dilakukan setelah adanya laporan polisi dari seorang pengusaha tambang bernama Hamid Talib ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sultra pada 16 Februari 2022.
Sudah dua bulan lamanya kedua tersangka mendekam dibalik jeruji besi di Rumah Tahanan (Rutan) Kolaka. Mereka menjalani proses sidang di Pengadilan Negeri (PN) Kolaka.
"Penetapan tersangka terhadap klien kami banyak kejanggalan yang tidak sesuai dengan fakta hukum sebenarnya. Ini adalah bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak Polda dan Kejati Sultra. Yang mana duduk perkaranya hanya soal pembongkaran masjid," ujar Andre melalui sambungan telefon pada Selasa (27/9/2022).
Andre menerangkan, kronologi kasus ini bukan seperti apa yang sudah dilaporkan oleh Hamid Talib. Sebab diketahui, pembongkaran bangunan Masjid Desa Hakatotobu itu dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pemerintah desa, tokoh agama, tokoh pemuda dan masyarakat setempat.
Kesepakatan itu ditempuh, usai adanya musyawarah bersama, membahas soal kondisi bangunan Masjid yang sebelumnya sebagai mushollah yang dibangun oleh perusahaan pengolah kayu PT Bina Mawahana Wisesa (BMW) itu sudah tidak layak digunakan untuk ibadah, apalagi kerap banjir ketika memasuki musim penghujan.
"Masyarakat lalu menyepakti dilakukan pembangunan masjid baru yang lokasinya dipindahkan dekat dengan jalan raya, sebagaimana termuat dalam Berita Acara musyawarah desa Nomor: 421.2/08/2021 tanggal 12 Maret 2021. Setelah dana swadaya masyarakat terkumpul, kemudian mulai dilakukan pembangunan masjid baru pada bulan Januari 2022," beber Andre.
Setelah bangunan masjid yang baru rampung, masyarakat desa menamakannya Masjid Al Hijrah. Kemudian, masyarakat desa melakukan pembongkaran bangunan masjid lama pada bulan Maret 2022.
"Atas pembongkaran masjid lama tersebut oleh masyarakat Desa Hakatotubu, kemudian ada laporan masuk ke Polda Sultra soal dugaan pengerusakan," imbuhnya.
Andre menjelaskan, dasar pelapor mengadukan kliennya ke Polda Sultra atas kasus dugaan pengrusakan tersebut karena dia menganggap masjid itu berada di atas lahan miliknya dengan bukti surat kepemilikan pelapor.
"Itulah menurut polisi yang menjadi dasar satu alat bukti untuk menetapkan tersangka. Namun setelah ditelusuri lebih jauh mengenai bukti kepemilikan lahan pelapor, ternyata banyak yang tidak sesuai dan saling bertentangan. Berdasarkan kuitansi jual beli 1993 menerangkan bahwa Indra Sutjahja membeli tanah dari Haji Djamaludin pada tanggal 16 April 1993, seluas 1,5 Hektare yang terletak di Desa Sopura (kini bernama Desa Hakatotobu), senilai Rp1.350.000. Pembelian tersebut adalah bersifat pribadi bukan pembelian atas nama perusahaan PT BMW," jelas Andre.
Tetapi anehnya, lanjut dia, Indra Sutjahja menjual tanah seluas 2 Hektare senilai Rp1.000.000.000 tertanggal 13 November 2010 kepada pelapor. Indra Sutjahja menjual bukan atas nama pribadi, tetapi atas nama Lukman Priosetanto sebagai Direktur Utama PT BMW.
Anehnya lagi, dalam Surat kuasa 001/BMW 2010, kuasa dari Direktur Utama PT BMW kepada Indra Sutjahja yang menjadi dasar jual beli dengan pelapor, tidak ada satupun klausul yang menyebutkan bahwa Indra Sutjahja diberikan kuasa untuk menjual tanah, tetapi hanya diberikan kuasa untuk mengurus atau menyelesaikan penyerahan lokasi basecamp kepada instansi atau perusahaan yang bersangkutan.
"Sehingga menjadi pertanyaan apa yang menjadi dasar Indra Sutjahja menjual tanah kepada pelapor karena dalam SK 001/BMW 2010 tidak ada klausul yang menyebutkan bahwa Indra Sutjahja diberikan kuasa untuk menjual tanah PT
BMW. Demikian pula adanya perbedaan luas lahan antara kuitansi jual beli 1993 yang hanya 1,5 Hektare dan pembuatan jual beli tanah (PJBT) tahun 2010 seluas 2 Hektare. Kemudian tidak disebutkan mengenai batas-batas tanah, sehingga tidak jelas lokasi dan posisi objek tanah," ungkap Andre.
Andre menyebut, dari ketiga bukti surat pelapor yakni kuitansi jual beli 1993, PJBT 2010 dan SK 001/BMW 2010 ternyata tidak saling bersesuain dan justru saling bertentangan sehingga patut diduga bahwa bukti-bukti tersebut adalah palsu atau setidak-tidaknya diragukan kebenarannya.
Dia juga menjelaskan, PT BMW selaku perusahaan pengolah kayu tidak memiliki hak atas tanah dan bangunan. Sebab, lokasi pembangunan basecamp termasuk masjid berada di area lahan konsesi PT Antam Tbk.
Hal itu sebagaimana, tertuang dalam surat perjanjian Penggunaan Konsesi dan Fasilitas Pelabuhan Nomor: 06/244/KUNP/1991 Nomor : 013/BMW-LDR/VI/91 tertanggal 3 Juni 1991 tentang PT Antam Tbk memberikan izin kepada PT BMW untuk menggunakan lahan konsesi PT Antam Tbk guna pembangunan logpond (penampungan kayu) dan basecamp.
"Lokasi pembangunan logpond dan base
camp termasuk lokasi masjid tidak masuk dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) tetapi merupakan lahan konsesi PT Antam Tbk, sehingga sebelum dibangun logpond dan base camp termasuk mushola, PT BMW melakukan Perjanjian Penggunaan Konsesi. Jadi, secara garis besarnya, lokasi pembagunan basecamp dan masjid tersebut bukan milik Haji Djamaludin yang sudah dijual, melainkan lahan konsesi PT Antam Tbk, yang kini sudah dikuasai oleh masyarakat sejak tahun 2001 setelah PT BMW berhenti beroperasi, dibuktikan dengan sertifikat hak milik," bebernya lagi.
Kemudian terkait masjid, kata dia, memang awalnya berbentuk mushollah kecil dari kayu yang dibangun oleh PT BMW untuk karyawan PT BMW. Kemudian pada tahun 1996 karyawan BMW patungan dana dan melakukan renovasi musholah menjadi bangunan semi permanen. Pada tahun 2007, dibangun permanen oleh PT PMS dan kemudian digunakan oleh masyarakat Hakatotobu.
"Jadi aneh tiba-tiba pelapor mengklaim sebagai pemilik masjid, sejak kapan dia bangun masjid. PT BMW juga tidak pernah menjual masjid kepada pelapor. Kalaupun PT BMW masih merasa sebagai pemilik mesjid harusnya PT BMW yang keberatan dan melapor, tetapi faktanya PT BMW tidak melapor. Olehnya itu, kami mengatakan bahwa penetapan tersangka terhadap kliennya kami banyak kejanggalan yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya. Kami menilai kasus ini adalah bentuk kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak Polda dan Kejati Sultra," tegasnya.
Parahnya lagi, lanjut Andre, dalam penetapan tersangka hanya dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pengerusakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP dan atau pasal 406 KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1e KUHP.
Padahal, pembongkaran ini dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah desa dan masyarakat berdasarkan kesepakatan bersama saat musyawarah mengenai kondisi masjid tersebut.
"Ini jelas upaya kriminalisasi yang coba memaksakan laporan pelapor menjadi kasus pidana dan diteruskan ke pengadilan. Padahal nyatanya pelapor tidak mempunyai bukti yang kuat dan sah terhadap objek perkara sehingga seharusnya dipastikan dahulu status kepemilikan objek perkara melalui gugatan Perdata/TUN," pungkasnya.