HALUANRAKYAT.com, JAKARTA -- Secara fisik, Gubernur Sulawesi Tenggara dua periode (2008-2013 dan 2013-2017) — Nur Alam, saat ini masih menjalani sisa masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung. Namun, nama besar dan pamor politiknya masih moncer dimana-mana. Namanya “ditakuti” berbagai kalangan di Sulawesi Tenggara, terutama mereka yang ingin eksis jelang Pilkada Sultra.
Kenapa hal itu bisa terjadi? Tentu saja semua itu tak lepas dari spirit Nur Alam yang tak pernah padam. Spirit artinya memiliki keterikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan, dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Nur Alam memang terus peduli dan tak henti memperjuangkan nasib Sulawesi Tenggara, meski keberadaannya dibatasi jarak ruang waktu.
Sebagai motor dari pemekaran di sejumlah daerah di Sulawesi Tenggara, dan meninggalkan legasi pemerintahan yang masih dirasakan warga seperti kokohnya jembatan Bahteramas dan megahnya Masjid Al Alam yang berdiri di atas Teluk Kendari, juga rintisan program Anggaran Dana Desa, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, Nur Alam adalah magnet yang pengaruhnya masih sangat kuat sampai sekarang.
Maka, jangan heran kalau ada saja pihak-pihak yang hendak menjatuhkan namanya. Mereka sibuk mencari-cari kesalahan Nur Alam meski lelaki kelahiran 9 Juli 1967 itu telah menanggung hukuman, untuk kesalahan yang sesungguhnya tidak diperbuatnya.
Putusan hukum yang dijatuhkan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (28/03/2018) kepada Nur Alam terkait pemberian izin usaha pertambangan (IUP). Ia didakwa melakukan kerusakan lingkungan untuk menilai kerugian negara, tanpa ada unsur memperkaya diri sendiri.
“Nur Alam telah menjadi martir keadilan dan terus memperjuangkan keadilan yang hakiki. Peninjauan kembali yang diajukan Nur Alam hanyalah menjadi bukti kalau keadilan di negeri ini masih sulit digapai ketika kekuasaan politik ikut berkelindan dalam kasus yang menjerat Nur Alam,”ucap Didi Supriyanto yang menjadi kuasa hukum Nur Alam.
Didi Supriyanto yang juga mantan Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan itu paham betul ketika Nur Alam berkuasa, Partai Amanat Nasional (PAN) yang digawangi Nur Alam begitu “bersinar” di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara. Hampir semua kepala daerah adalah anak didik dan kader-kader PAN.
Tuduhan segelintir orang baik di Kendari maupun di Jakarta, mulai dari melaporkan ke polisi dengan berbagai tuduhan terhadap Nur Alam hingga minta pengusutan kembali kasus korupsi terhadap Nur Alam padahal yang bersangkutan masih menjalani masa hukuman dianggap Didi begitu janggal dan terkesan mengada-ada.
Sedangkan, Pengamat politik dari Nusakom Pratama Institut, Dr. Ari Junaedi menyebut di tahun politik seperti sekarang ini “jualan” menghantam figur-figur yang kuat secara politik memang kerap digunakan pihak-pihak yang ingin running di kontestasi politik seperti di Pilkada Sultra.
Black Campaign, Aksi character assasination atau perusakan nama baik seperti yang dialami Nur Alam dianggap Ari Junaedi sebagai black campaign atau kampanye hitam.
“Kalaupun kelemahan pemerintahan Nur Alam silam dikuliti dengan data-data atau disandingkan dengan fakta-fakta, tentu diskursus tersebut sangat positif dan memperkaya dialektika komunikasi politik,”ungkap Ari Junaedi yang juga pengajar di berbagai program S-2 di tanah air.
Menurut Ari, kampanye negatif dapat dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan kesalahan pihak lawan politik. Sementara kampanye hitam adalah menuduh pihak lawan dengan tuduhan palsu atau belum terbukti, atau melalui hal-hal yang tidak relevan terkait kapasitasnya sebagai pemimpin.
Sebagai contoh, kampanye negatif dalam kontes pemilihan presiden (Pilpres) dilakukan dengan mengumbar data utang luar negeri petahana calon presiden oleh pihak lawan.
Sementara contoh untuk kampanye hitam, menuduh seseorang tidak pantas menjadi pemimpin karena agama atau rasnya atau karena kesalahan yang tidak dilakukannya “Kampanye negatif ini aspek hukumnya sah saja. Bahkan, itu berguna membantu pemilih membuat keputusannya. Misal penyalahgunaan kekuasaan, itu sah dan bisa saja dikeluarkan. Pemilih akan lebih cerdas memilih dan tidak tertipu dengan calon yang pura-pura peduli dengan nasib wong cilik,”jelas Ari Junaedi.
“Di tahun politik ini mulai bermunculan para calon kepala daerah Sultra, namun ketika di lihat rekam jejaknya sesungguhnya calon tersebut berpotensi menghancurkan daerah Sulawesi Tenggara,” tutupnya.