Presiden dan DPR Bertanggung Jawab atas Kesesatan Informasi UU Ciptaker di Masyarakat
HALUANRAKYAT.com, KENDARI - Sejumlah elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Freedom of Information Network Indonesia (FOINI) menyesalkan buruknya keterbukaan informasi soal pembahasan RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU Cipta Kerja.
Kejar tayang yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI telah banyak mereduksi ruang partisipasi publik, terlebih lagi hak akses masyarakat atas informasi publik yang utuh, cepat, dan akurat.
"Presiden RI dan Pimpinan DPR RI harus bertanggung jawab atas kondisi yang disebabkan oleh buruknya praktik keterbukaan informasi publik yang mereka lakukan tersebut," tulis FIONI dalam siaran persnya, Minggu 11 Oktober 2020.
Menurut mereka, berbagai disinformasi mengenai substansi dari undang-undang ini dan tuduhan hoax sebagaimana Presiden RI sampaikan adalah salah satu dampak dari buruknya keterbukaan informasi mengenai proses pembahasan UU Cipta Kerja.
Padahal, paripurna untuk memutuskan UU Cipta Kerja sudah digelar beberapa hari lalu. Pemerintah dan DPR RI seharusnya dapat melihat dan memahami bahwa UU Cipta Kerja tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak, terlebih menyangkut banyak sektor kehidupan, bukan hanya sekedar memenuhi target mereka sebagai penyusun UU.
"Berdasarkan temuan FOINI, terdapat 58 kali rapat pembahasan UU Cipta Kerja dan ada 6 kali rapat DPR RI dan Pemerintah yang tidak terpublikasikan kepada publik mengenai jalannya pembahasan UU Cipta Kerja. Padahal, sebelumnya Ketua Baleg DPR RI, Supratman Ali Atgas, mengatakan terdapat 64 kali rapat yang dijalankan oleh DPR RI yang terdiri dari 2 kali rapat kerja, 56 kali rapat Panja, dan sisanya 6 kali rapat dengan tim perumus," beber Arif Adiputro, salah satu nara hubung FIONI.
Kata Arif, sangat disayangkan negara melalui aparatnya justru melakukan tindakan-tindakan represif terhadap warga atas tuduhan hoax, padahal semua ini terjadi karena kontribusi dari kelalaian Pemerintah dan DPR RI sendiri dalam memenuhi hak atas informasi bagi publik secara tepat.
"Lain persoalan, jika Pemerintah dan DPR RI telah menyampaikan atau mengumumkan kepada publik atas UU Cipta Kerja yang telah mereka putuskan dalam Sidang Paripurna beberapa hari lalu (5/10/2020)," imbuhnya.
Masih menurut FIONI, Presiden RI dan DPR RI dinilai telah melanggar sejumlah ketentuan mengenai jaminan dan pemenuhan hak atas informasi seperti termaktub dalam Pasal 28 F UUD Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Selain itu, Pasal 7 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan bahwa "Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.” Tak hanya itu, DPR RI seharusnya mempublikasikan setiap UU yang telah disahkan. Hal ini diatur pada Pasal 7 Peraturan DPR tentang Tata Tertib DPR Nomor 1 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa DPR RI bertugas menyebarluaskan UU yang telah disahkan.
"FOINI menuntut tanggung jawab kepada Presiden RI dan Pimpinan DPR RI untuk segera mengumumkan UU Cipta Kerja hasil Sidang Paripurna secara luas kepada publik sebagai kewajiban konstitusi dan hukum bagi Pemerintah dan DPR RI, termasuk mencegah dampak kerugian yang lebih lanjut bagi masyarakat," tegasnya.
Kedua, FIONI meminta Pemerintah dan DPR RI membuka ke publik semua risalah rapat pembahasan RUU Cipta Kerja maksimal 12 Oktober 2020 mengingat keterlambatan informasi tersebut telah mengakibatkan terganggunya ketertiban umum.
"Meminta aparat untuk menghentikan tindakan-tindakan represif terhadap masyarakat yang dituduh telah menyampaikan informasi menyesatkan," timpal Arif.