HALUANRAKYAT.com, JAKARTA - Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (Sultra), Sarjono Turin dilaporkan ke Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung (Jamwas Kejagung).
Sarjono dilaporkan terkait tindakannya yang menetapkan Direktur Utama PT Toshida Indonesia, Laode Sinarwan Oda (LSO) sebagai tersangka korupsi pertambangan untuk yang kedua kalinya.
Pelapor adalah Kuasa Hukum LSO, Zakir Rasidin. Ia menyebut, penetapan tersangka kliennya sebelumnya telah dibatalkan oleh Pengadilan Kendari Melalui Putusan Praperadilan Nomor: 6/Pid.Pra/2021/PN.Kdi Tertanggal 27 Juli 2021. Namun, usai putusan sidang tersebut, Kejakti Sultra kembali menetapkan kliennya sebagai tersangka.
"Anehnya, surat perintah penyidikan yang digunakan untuk menetapkan klien kami sebagai tersangka adalah sprindik yang lama, yaitu saat klien kami ditetapkan pertama kali sebagai tersangka," kata Zakir di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Senin (27/9), dikutip dari laman Merdeka.com.
Zakir menyebut, penetapan LSO sebagai tersangka diawali Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Oleh Kementerian Kehutanan Pada tanggal 9 Oktober 2009, seluas 5.265,70 hektare kepada PT Toshida Indonesia untuk kegiatan eksploitasi nikel di Tanggetada, Kolaka, Sulawei Tenggara, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.708/Menhut-II/2009 yang berlaku sampai dengan tanggal 10 Oktober 2027.
Kemudian pada 2019, Kementrian KLHK meminta kepada PT Toshida Indonesia agar melunasi Tunggakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jika tidak, maka izinnya akan dicabut.
"Pada 15 Maret 2021 klien kami mendapatkan panggilan tentang permintaan keterangan terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi pinjam pakai kawasan hutan. Atas panggilan tersebut, klien kami menghadiri panggilan dimaksud," jelas Zakir.
Selanjutnya, pada tanggal 17 Juni 2021, La Ode diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara sebagai tersangka perkara tersebut. Gugatan praperadilan atas penetapan tersangka itu pun diajukan ke Pengadilan Negeri Kendari.
"Yang mana putusan praperadilan dimaksud mengatakan bahwa penetapan tersangka dan penyidikan perkara terhadap klien kami dinyatakan tidak sah, dan memerintahkan kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan," kata Zakir.
Putusan tersebut nyatanya disambut oleh Kejati Sulawesi Tenggara dengan menetapkan kembali La Ode sebagau tersangka. Namun tetap menggunakan sprindik yang sama persis dengan penetapan tersangka pertama kali, yakni Sprindik Nomor: Print-03/P/3/Fd.1/05/2021.
"Karena itulah kami menilai bahwa ada upaya kriminalisasi. Sebab jelas dan nyata dalam Putusan Praperadilan Pengadilan Kendari, memerintahkan kepada penyidik yang memeriksa perkara tersebut, agar menghentikan penyidikan perkara," ujar Zakir.
Atas dasar itu, Zakir melanjutkan, penetapan tersangka itu bertentangan dengan Pasal 2 Ayat 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 yakni Putusan Praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi setelah memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara. Laporan atas perkara tersebut pun kini telah diterima Jamwas Kejagung dengan dibubuhi stempel resmi.
"Untuk kiranya segera memeriksa Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara dan memeriksa para penyidik yang memeriksa perkara tersebut, tentang basis data dan fakta serta alat bukti apa yang digunakan, sampai harus menetapkan klien kami sebagai tersangka untuk yang kedua kalinya," timpalnya.